Buaya muara merupakan
salah satu 25 jenis buaya yang ada di dunia. Dari keseluruhan jenis tersebut, 6
diantaranya ditemukan di Indonesia. Buaya Muara dalam bahasa latin disebut: Crocodylus porosus Schneider, 1801, Inggris disebut Saltwater crocodile, Estuarine
crocodile, Indo-Pacific crocodile, Prancis: Crocodile marin, Jerman: Leistenkrokodil;
Spanyol: Cocodrilo poroso. Nama ini berasal dari penyebutan orang Yunani terhadap buaya yang mereka saksikan
di Sungai Nil, krokodilos; kata bentukan
yang berakar dari kata kroko, yang berarti ‘batu kerikil’, dan deilos yang berarti ‘cacing’ atau ‘orang’. Mereka menyebutnya ‘cacing bebatuan’
karena mengamati kebiasaan buaya berjemur di tepian sungai yang berbatu-batu.
Berdasarkan
taksonominya, klasifikasi Buaya Muara adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Superkelas : Tetrapoda
Kelas : Reptilia
Subkelas : Diapsida
Ordo : Crocodylia
Famili : Crocodylidae
Genus : Crocodylus
Spesies : Crocodylus porosus
Karakteristik Fisik
Merupakan jenis buaya yang
terbesar di dunia, pertumbuhannya mencapai lebih dari 6,1 meter. Panjang dan berat sampai 1 ton. Panjang untuk jantan dewasa 4 – 5
meter, dan yang betina dewasa mencapai 3 – 3,5 meter. Buaya Muara bisa berwarna hitam, coklat
gelap, atau kekuning-kuningan pada bagian dorsal. Di sisi bagian bawah berwarna putih atau
kekuningan.
Ciri khasnya adalah bahwa sisik belakang kepalanya tidak ada atau
berukuran sangat kecil. Pada moncongnya,
antara mata dengan hidung terdapat sepasang lunas. Panjang moncong sekitar satu setengah sampai
dua kali lebarnya atau lebih. Giginya
berjumlah sekitar 17 – 19 buah, yang keempat, kedelapan dan Sembilan umumnya
jauh lebih besar; empat gigi pertama terpisah dari gigi-gigi di sebelah
belakangnya. Sisik punggung berlunas
pendek, berjumlah 16 – 17 baris dari depan ke belakang, biasanya dalam 6 – 8
baris. Umumnya sisik berlunas tidak
mempunyai tulang yang tebal, sehingga lebih disukai penyamak kulit. Pewarnaan: Tubuhnya berwarna abu-abu hijau
tua, terutama pada individu dewasa, sedangkan individu muda berwarna lebih
abu-abu muda kehijauan dengan bercak-bercak hitam. Pada ekornya terdapat bercak berwarna hitam
membentuk belang yang utuh.
Habitat dan Penyebaran
Buaya Muara terutama hidup
di daerah muara sungai. Hampir semua
buaya dikabarkan suka berjemur di pagi hari, dan menyelam atau menyeburkan
dirinya dalam air dan menyelam apabila ada suara yang tidak bersahabat. Ada beberapa catatan yang menyatakan bahwa
jenis ini kadang-kadang dijumpai di laut lepas.
Di Sungai Sangatta buaya dapat ditemukan pada jarak
Secara global populasi
tersebar dari pantai timur Indonesia sampai Australia. Di Taman Nasional Kutai
tersebar pada beberapa sungai yaitu:
Sungai Guntung, Sungai Teluk Pandan,
Sungai Sangkima, Sungai Sangatta, Sungai Kandolo. Selain itu terdapat beberapa
habitat buaya yang terdapat di sekitar Taman Nasional Kutai yaitu Muara Sungai
Bontang dan Sungai Santan.
Perilaku
Pada jantan dewasa hidup menyendiri (soliter), memiliki wilayah
teritori yang luas. Betina biasanya memiliki wilayah teritori yang kecil,
sedangkan jantan dewasa memiliki territorial mulai dari 260 km2.
Buaya sering merendam hampir seluruh badannya dalam air, tanpa
mengganggu pernapasan dan penglihatannya sebab lubang hidung dan mata terletak
pada sisi atas kepala. Selama hidupnya
gigi baru terus tumbuh dan menyingkirkan gigi yang lama dari rongganya.
Kekuatan tubuhnya bisa maksimal apabila badanya terendam di air.
Makanan
Buaya Muara muda makanan
utamanya adalah kepiting dan ikan kecil.
Pada Buaya Muara yang dewasa makanannya jenis mamalia besar, baik yang
dipelihara maupun yang liar, bahkan kadang-kadang juga memakan manusia.
Biologi Reproduksi
Wilayah
perkembangbiakan biasanya di sepanjang pasang surut sungai, creeks dan area air tawar. Betina mencapai kematangan seksual pada
panjang 2,2 ke 2,5 m (10 sampai 12 tahun). Jantan dewasa lebih lambat (3,2 m, pada
sekitar 16 tahun).
Musim berkembang biak
terjadi pada bulan April hingga Mei di India, dan Januari hingga Februari di
Australia. Pada musim kawin dan bertelur buaya dapat menjadi sangat
agresif dan mudah menyerang manusia atau hewan lain yang mendekat. Di musim
bertelur buaya amat buas menjaga sarang dan telur-telurnya. Induk buaya betina
umumnya menyimpan telur-telurnya (40 – 70 telur) dengan dibenamkan di bawah gundukan tanah atau pasir
bercampur dengan serasah dedaunan
selama + 70 – 80 hari. Gundukan
tersebut membantu mengisolasi telur dari suhu ekstrim, menyembunyikan mereka
dari predator, menghentikan dehidrasi, dan juga berfungsi untuk menaikkan telur
di atas tanah sehingga meminimalkan risiko banjir. Banyak sarang -sarang yang terkena
banjir setiap tahun dan membunuh semua embryo. Penyebab utama kematian janin buaya muara
adalah karena kebanjiran (genangan air) dan bukan karena predator. Walaupun betina tetap berada di dekat sarang,
telur kadang-kadang dimakan predator (misalnya monitor lizards, babi hutan liar
di Australia) dan manusia telur kolektor.
Telur
biasanya menetas setelah 80 hingga 90 hari tapi bervariasi pada berbagai suhu
(80 hari pada suhu tetap 32 celsius, lebih lama jika dingin). Betina
mengeluarkan mereka dari sarang ketika mendengar suara mereka, membantu mereka
ke air dengan hati-hati membawa mereka di dalam mulut. Banyak penelitian telah
dilakukan dalam TSD (Penetapan Sex bergantung Temperature) dalam spesies ini,
yang merupakan nilai untuk captive breeding program untuk mempengaruhi rasio
jenis kelamin, dan untuk jantan memproduksi lebih cepat berkembang untuk
keperluan penangkaran. Persentase produksi jantan tertinggi pada suhu sekitar
31,6 ° C, dan betina pada suhu beberapa derajat di atas dan di bawah ini.
Diperkirakan kurang dari 1% dari anak buaya yang akan hidup sampai dewasa,
karena banjir, predator (misalnya kura-kura, goannas, C. johnstoni), kompetisi
untuk sumber daya, dan tekanan sosial (jantan pemilik wilayah akan makan bayi
buaya dan remaja).
Status Konservasi
Perlunya melakukan penegakan
hukum dan melakukan pendidikan konservasi dengan masyarakat agar bisa “hidup
berdampingan” dengan buaya. Jenis ini
sudah tidak tercantum pada IUCN Red List, tetapi masuk dalam CITES Apendiks I. Diperkirakan populasi yang hidup liar di alam
sekitar 200.000 – 300.000 ekor.
Meskipun penyebarannya
cukup luas, Buaya Muara telah banyak dibunuh karena rasa takut manusia dan juga
karena kulit mereka yang berharga. Untuk mengurangi tekanan terhadap populasi buaya di alam,
berbagai upaya penangkaran telah dikembangkan. Buaya muara dan
buaya Nil adalah jenis-jenis yang paling banyak ditangkarkan. Penangkaran
buaya muara cenderung meningkat, terutama di Australia. Di Indonesia
pun telah banyak dilakukan upaya penangkaran buaya ini, meskipun masih setengah
bergantung ke alam, mengingat stok buaya yang dipelihara masih mengandalkan
pemungutan telurnya dari alam, untuk kemudian ditetaskan dan dibesarkan di
penangkaran
Pemanfaatan
Kulit buaya diolah untuk dijadikan aneka barang kerajinan
kulit seperti dompet, tas, topi, ikat pinggang, sepatu dan lain-lain. Indonesia mengekspor cukup banyak kulit buaya, sekitar 15.228
potong di tahun 2002, dengan negara-negara tujuan ekspor di antaranya ke Singapura, Jepang, Korea, Italia, dan beberapa negara lainnya. Empat perlimanya adalah
dari kulit buaya Irian, dan sekitar 90% di antaranya dihasilkan dari
penangkaran buaya. Di beberapa
Negara seperti di Australia, Etiopia, Thailand, Afrika
Selatan, Kuba, dan juga di sebagian tempat di Indonesia dan Amerika
Serikat daging buaya
juga dimakan. Di Kalimantan Timur daging buaya dimanfaatkan orang selain
untuk kerajinan juga sebagai makanan yang di percaya masyarakat dapat mengobati
penyakit kulit dan untuk vitalitas.
Disarikan oleh: Yulita Kabangnga’
Pustaka:
Grzimek, Bernhard. 2003. Animal Life
Encyclopedia, Second Edition. Volume 7: Reptiles. Schlager Group Inc. American.
BTNK,2005. Data Dasar Taman Nasional Kutai. Balai
TN Kutai Bontang, Kaltim.
No comments:
Post a Comment