Translate

Tuesday, April 2, 2013

Buaya Muara (Crocodylus porosus Schneider)


Buaya muara merupakan salah satu 25 jenis buaya yang ada di dunia. Dari keseluruhan jenis tersebut, 6 diantaranya ditemukan di Indonesia. Buaya Muara dalam bahasa latin disebut: Crocodylus porosus Schneider, 1801, Inggris disebut Saltwater crocodile, Estuarine crocodile, Indo-Pacific crocodile, Prancis: Crocodile marin, Jerman: Leistenkrokodil; Spanyol: Cocodrilo poroso.   Nama ini berasal dari penyebutan orang Yunani terhadap buaya yang mereka saksikan di Sungai Nil, krokodilos; kata bentukan yang berakar dari kata kroko, yang berarti ‘batu kerikil’, dan deilos yang berarti ‘cacing’ atau ‘orang’. Mereka menyebutnya ‘cacing bebatuan’ karena mengamati kebiasaan buaya berjemur di tepian sungai yang berbatu-batu.
Berdasarkan taksonominya, klasifikasi Buaya Muara adalah :
Kingdom            : Animalia
Filum                  : Chordata
Subfilum            : Vertebrata
Superkelas         : Tetrapoda
Kelas                  : Reptilia
Subkelas             : Diapsida
Ordo                  : Crocodylia
Famili                 : Crocodylidae
Genus                 : Crocodylus
Spesies               : Crocodylus porosus

Karakteristik Fisik
Merupakan jenis buaya yang terbesar di dunia, pertumbuhannya mencapai lebih dari 6,1 meter.  Panjang dan berat sampai  1 ton. Panjang untuk jantan dewasa 4 – 5 meter, dan yang betina dewasa mencapai 3 – 3,5 meter.  Buaya Muara bisa berwarna hitam, coklat gelap, atau kekuning-kuningan pada bagian dorsal.  Di sisi bagian bawah berwarna putih atau kekuningan.
Ciri khasnya adalah bahwa sisik belakang kepalanya tidak ada atau berukuran sangat kecil.  Pada moncongnya, antara mata dengan hidung terdapat sepasang lunas.  Panjang moncong sekitar satu setengah sampai dua kali lebarnya atau lebih.  Giginya berjumlah sekitar 17 – 19 buah, yang keempat, kedelapan dan Sembilan umumnya jauh lebih besar; empat gigi pertama terpisah dari gigi-gigi di sebelah belakangnya.  Sisik punggung berlunas pendek, berjumlah 16 – 17 baris dari depan ke belakang, biasanya dalam 6 – 8 baris.  Umumnya sisik berlunas tidak mempunyai tulang yang tebal, sehingga lebih disukai penyamak kulit.  Pewarnaan: Tubuhnya berwarna abu-abu hijau tua, terutama pada individu dewasa, sedangkan individu muda berwarna lebih abu-abu muda kehijauan dengan bercak-bercak hitam.  Pada ekornya terdapat bercak berwarna hitam membentuk belang yang utuh.

Habitat dan Penyebaran
Buaya Muara terutama hidup di daerah muara sungai.  Hampir semua buaya dikabarkan suka berjemur di pagi hari, dan menyelam atau menyeburkan dirinya dalam air dan menyelam apabila ada suara yang tidak bersahabat.  Ada beberapa catatan yang menyatakan bahwa jenis ini kadang-kadang dijumpai di laut lepas.  Di Sungai Sangatta buaya dapat ditemukan pada jarak
Secara global populasi tersebar dari pantai timur Indonesia sampai Australia. Di Taman Nasional Kutai tersebar pada beberapa sungai  yaitu: Sungai  Guntung, Sungai Teluk Pandan, Sungai Sangkima, Sungai Sangatta, Sungai Kandolo. Selain itu terdapat beberapa habitat buaya yang terdapat di sekitar Taman Nasional Kutai yaitu Muara Sungai Bontang dan Sungai Santan.

Perilaku
Pada jantan dewasa hidup menyendiri (soliter), memiliki wilayah teritori yang luas. Betina biasanya memiliki wilayah teritori yang kecil, sedangkan jantan dewasa memiliki territorial mulai dari  260 km2.
Buaya sering merendam hampir seluruh badannya dalam air, tanpa mengganggu pernapasan dan penglihatannya sebab lubang hidung dan mata terletak pada sisi atas kepala.  Selama hidupnya gigi baru terus tumbuh dan menyingkirkan gigi yang lama dari rongganya. Kekuatan tubuhnya bisa maksimal apabila badanya terendam di air.

Makanan
Buaya Muara muda makanan utamanya adalah kepiting dan ikan kecil.  Pada Buaya Muara yang dewasa makanannya jenis mamalia besar, baik yang dipelihara maupun yang liar, bahkan kadang-kadang juga memakan manusia.

Biologi Reproduksi
Wilayah perkembangbiakan biasanya di sepanjang pasang surut sungai, creeks  dan area air tawar.  Betina mencapai kematangan seksual pada panjang 2,2 ke 2,5 m (10 sampai 12 tahun).  Jantan dewasa lebih lambat (3,2 m, pada sekitar 16 tahun).
Musim berkembang biak terjadi pada bulan April hingga Mei di India, dan Januari hingga Februari di Australia.  Pada musim kawin dan bertelur buaya dapat menjadi sangat agresif dan mudah menyerang manusia atau hewan lain yang mendekat. Di musim bertelur buaya amat buas menjaga sarang dan telur-telurnya. Induk buaya betina umumnya menyimpan telur-telurnya (40 – 70 telur) dengan dibenamkan di bawah gundukan tanah atau pasir bercampur dengan serasah dedaunan selama + 70 – 80 hari.  Gundukan tersebut membantu mengisolasi telur dari suhu ekstrim, menyembunyikan mereka dari predator, menghentikan dehidrasi, dan juga berfungsi untuk menaikkan telur di atas tanah sehingga meminimalkan risiko banjir.  Banyak sarang -sarang yang terkena banjir setiap tahun dan membunuh semua embryo.  Penyebab utama kematian janin buaya muara adalah karena kebanjiran (genangan air) dan bukan karena predator.  Walaupun betina tetap berada di dekat sarang, telur kadang-kadang dimakan predator (misalnya monitor lizards, babi hutan liar di Australia) dan manusia telur kolektor.
Telur biasanya menetas setelah 80 hingga 90 hari tapi bervariasi pada berbagai suhu (80 hari pada suhu tetap 32 celsius, lebih lama jika dingin). Betina mengeluarkan mereka dari sarang ketika mendengar suara mereka, membantu mereka ke air dengan hati-hati membawa mereka di dalam mulut. Banyak penelitian telah dilakukan dalam TSD (Penetapan Sex bergantung Temperature) dalam spesies ini, yang merupakan nilai untuk captive breeding program untuk mempengaruhi rasio jenis kelamin, dan untuk jantan memproduksi lebih cepat berkembang untuk keperluan penangkaran. Persentase produksi jantan tertinggi pada suhu sekitar 31,6 ° C, dan betina pada suhu beberapa derajat di atas dan di bawah ini. Diperkirakan kurang dari 1% dari anak buaya yang akan hidup sampai dewasa, karena banjir, predator (misalnya kura-kura, goannas, C. johnstoni), kompetisi untuk sumber daya, dan tekanan sosial (jantan pemilik wilayah akan makan bayi buaya dan remaja).
Status Konservasi
Perlunya melakukan penegakan hukum dan melakukan pendidikan konservasi dengan masyarakat agar bisa “hidup berdampingan” dengan buaya.  Jenis ini sudah tidak tercantum pada IUCN Red List, tetapi masuk dalam CITES Apendiks I.  Diperkirakan populasi yang hidup liar di alam sekitar 200.000 – 300.000 ekor.
Meskipun penyebarannya cukup luas, Buaya Muara telah banyak dibunuh karena rasa takut manusia dan juga karena kulit mereka yang berharga.  Untuk mengurangi tekanan terhadap populasi buaya di alam, berbagai upaya penangkaran telah dikembangkan.  Buaya muara dan buaya Nil adalah jenis-jenis yang paling banyak ditangkarkan.  Penangkaran buaya muara cenderung meningkat, terutama di Australia.  Di Indonesia pun telah banyak dilakukan upaya penangkaran buaya ini, meskipun masih setengah bergantung ke alam, mengingat stok buaya yang dipelihara masih mengandalkan pemungutan telurnya dari alam, untuk kemudian ditetaskan dan dibesarkan di penangkaran

Pemanfaatan
Kulit buaya diolah untuk dijadikan aneka barang kerajinan kulit seperti dompet, tas, topi, ikat pinggang, sepatu dan lain-lain. Indonesia mengekspor cukup banyak kulit buaya, sekitar 15.228 potong di tahun 2002, dengan negara-negara tujuan ekspor di antaranya ke Singapura, Jepang, Korea, Italia, dan beberapa negara lainnya. Empat perlimanya adalah dari kulit buaya Irian, dan sekitar 90% di antaranya dihasilkan dari penangkaran buaya. Di beberapa Negara seperti di Australia, Etiopia, Thailand, Afrika Selatan, Kuba, dan juga di sebagian tempat di Indonesia dan Amerika Serikat daging buaya juga dimakan. Di Kalimantan Timur daging buaya dimanfaatkan orang selain untuk kerajinan juga sebagai makanan yang di percaya masyarakat dapat mengobati penyakit kulit dan untuk vitalitas.

Disarikan oleh: Yulita Kabangnga’
Pustaka:
Grzimek, Bernhard. 2003. Animal Life Encyclopedia, Second Edition. Volume 7: Reptiles. Schlager Group Inc. American.
BTNK,2005. Data Dasar Taman Nasional Kutai. Balai TN Kutai Bontang, Kaltim.

No comments:

Post a Comment